Keiklasan Seorang "Bakul Sega"
H. Sungkono
H. Sungkono (kanan) menemui para pengudap di warung sotonya.(SM/CyberNews/Yuska) |
Soto Galeh, memang seperti umumnya soto yang selama ini ada. Berkuah santan, dengan varisai sedikit bihun, irisan daging sapi atau ayam, tauge dan sejumput daun seledri serta nasi secukupnya.
Soal rasa khas soto Galeh ini sejak tahun 1965 sampai sekarang masih tetap dipertahankan oleh H. Sungkono, penerus generasi dari dinasti soto Galeh. Pada tahun 60-an itulah Mbah Joyo, kakek Sungkono membangun "kerajaan" soto di pinggiran Sungai Galeh di Parakan, Temanggung. Sebuah kawasan berhawa dingin yang terasa pas dengan masakan soto yang disajikan panas-panas. "Tapi kakek saya dulu sebelum membuka warung di dekat jembatan Galeh, beliau jualan berkeliling dengan angkring," kata Sungkono yang tekah membuka cabang di Secang dan Bergas, Kab. Semarang.
Menurut lelaki yang beristri Suparmi ini, nama "galeh" sendiri pemberian dari para pelanggan Mbah Joyo yang dengan sukarela memberi nama sesuai dengan tempat berjualan. "Jadi saya sangat berterimakasih, atas penghargaan masyarakat pada kami," kata H. Sungkono.
Setelah Mbah Joyo meninggal, usaha soto ini diteruskan Ahmad Amri, ayah Sungkono.
Jika dari semua varian soto itu terasa ada yang istimewa, tentu karena masing-masing soto disesuaikan dengan asal masakan itu buat. Misal soto Lamongan akan berbeda dengan soto Madura, soto Kudus, soto Sokaraja, atau soto Semarang.
Ayam kampung
Soto Galeh juga memiliki spesifikasi dalam rasa misalnya sedikit beraroma opor. Daging ayam yang dipakai pun bukan ayam boiler, tapi ayam kampung yang segar, sehingga soto akan terasa kesat. Soal ayam pilihan ini juga, tak bisa diganggu gugat, karena sejak zaman Mbah Joyo dulu yang dipakai adalah ayam kampung, terasa akan berdosa jika Sungkono berani mengubah tradisi.
Ketenaran Soto Galeh tak cuma di sekitar kota Temanggung saja, tapi sampai kota-kota di Jawa Tengah. Para pelanggan pun dari masyarakat biasa sampai pejabat negara. Dari Harmoko (mantan Menteri Penerangan), Gubernur Jateng Ismail (alm) atau mantan Mendagri Supardjo Roestam (alm) pernah menjadi pelanggan setia. Bahkan di warungnya yang ada di Bergas, Kab Semarang, tempatnya sering dijadikan ajang pertemuan tim sukses beberapa calon bupati dan walikota.
Pak Kono, demikian ia sering dipanggil ternyata tidak saja sukses di dunia kuliner, tapi juga aktif di dunia pendidikan. "Tapi saya lebih suka dipanggil sebagai bakul sega saja, ketimbang pengusaha," kata lelaki yang menjadi ayah asuh bagi anak-anak yatim piatu ini. Bukti suksesnya sebagai pengusaha, Kono ikut mendirikan sebuah rumah sakit, yakni RS Muhammadiyah di Parakan.
Ikhwal kebiasaan beramal itu, setiap Jumat Kono punya kebiasaan menyalurkan infaq ke banyak panti asuhan. "Karena dengan berinfaq secara iklas, insyaallah kita tak akan pernah berhenti menikmati rejekiNya," kata mantan penjaga perpustakaan Mukti Ali (mantan menteri Agama, red) semasa mahasiswa dulu itu.
ya, membersihkan buku-buku di rak perpustakaan dengan kemoceng itu pun dilakoni Kono dengan iklas.
(Bambang Isti/CN13)
sumber : Cyber.suaramerdeka.com
