Remaja Gayamsari IV Kel.Gemah Kec. Pedurungan, berkeliling kampung menabuh drum dan barang bekas, untuk membangunkan orang sahur

dailyvideo

Pasang Surutnya Laut , Berkah bagi Wahyono

Pembela Mangrove dari Ujung Alang
image
WAHYONO penerima penghargaan "Perintis Lingkungan Hidup" Jawa Tengah (Foto CyberNews Wisanggeni)
Oleh Bambang Iss
BAGI kebanyakan orang, mungkin cukup sudah hanya menjadi kepala dusun (kadus) dengan gaji Rp 400 ribu perbulan, apalagi di desa.
Namun tidak bagi seorang Wahyono. Pengabdiannya sebagai kepala Dusun Ujung Alang yang dijabatnya sejak tahun 2003 sampai sekarang tak lantas membuatnya ingin dihormati sebagai pejabat desa, "Ada pekerjaan lain yang sangat penting dan harus saya lakukan yaitu menjaga kelestarian tanaman mangrove," kata Wahyono.
Berawal dari keprihatinan dia atas makin susutnya lahan tanaman mangrove di Desa Ujung Alang, Kec, Kampunglaut, Kab Cilacap tempat dia tinggal, maka terjunlah Wahyono ke pantai. Dia sendiri berjuang, karena di benaknya siudah terpatri, jika mangrove hilang, abrasi pantai akan makin menggila, kampungnya akan banjir, bahkan tak akan ada lagi budidaya ikan. Jadi takj ada sumber mata pencaharian lagi dari laut.
Hilangnya belantara mangrove di perairan Segara Anakan Cilacap itu, karena terjadinya sedimentasi sehingga tanah pantai terus meninggi. Lebih dari itu, adanya perusakan mangrove berupa penebangan liar oleh sebagian penduduk, membuat hati Wahyono menjerit. Sehingga tumbuhan mangrove yang sejak tahun 80-an seluas 4000 Ha, kini tinggal tersisakan 600 Ha saja.
Kegunaan mangrove disamping sebagai penahan erosi adalah menyediakan berbagai hasil hutan seperti kayu, hal inilah yang  membuat orang mengincarnya dan memburunya. Maka terus saja hutan mangrove dibabat habis. Padahal dengan kelestarian mangrove, penduduk bisa membudidayakan apa saja, dari budidaya ikan, udang, atau kepiting, "Dan daun-daunnya saja sudah mengandung makanan bagi ikan-ikan di sekitarnya," kata Wahyono.
Ikan-ikan itu seperti jenis belanak, badeng atau mujahir. Hanya saja, menurut lelaki yang beristrikan Monika Tumirah ini, betapa sulitnya berbudidaya udang di tempat itu karena selalu diserang penyakit udang.
Berbuah berkah.
Membela kelestarian mangrove yang dilakoninya sejak tahun 2003 sampai sekarang memang berbuah berkah. Setidaknya Wahyono yang berhasil menggerakkan warga desanya untuk ikut melestarikan mangrove, sehingga  sudah berhasl menyelamatkan sekitar 50 ha lahan mangrove.
Ancaman penembangan liar diakui Wahyono memang masih ada, "Tapi tidak sebesar dulu, karena rupanya kesadaran warga akan manfaat mangrove ini sudah tumbuh," kata Wahyono yang pernah menerima penghargaan "Perintis Lingkungan Hidup" dan uang Rp 4,5 juta dari Gubernur Jateng Bibit Waluyo Mei 2010.
Bagaimana menyadarkan warga akan pentingnya mangrove?
Wahyono mengaku punya kiat tersendiri. Pertemuan antarwarga dilakukannya tiap selapan (menurut penghitungan tradisi Jawa 36 hari. Di situ dia bisa intens mengadakan penyuluhan akan pentingnya pelestarian mangrove.
Puncanya, warga pun makin sadar ketika usaha wahyono selama ini diapresiasi oleh pemerintah dengan berbagai penghargaan dan bantuan uang maupun bibit mangrove sepreti dari Pertamina atau dari KPSDSA (Kantor Pengelolaan Sumber Daya Segara Anakan) yang selalu memberi saran, motivasi dan pengetahuan-pengetahuan tentang tanaman mangrove..
Maka "Sampai sekarang pun saya dan teman-teman pelestari lingkungan, mencari bibit sendiri, yaitu mengambil dari tanaman yang sudah tua yang pernah kami tanaman beberapa tahun lalu," kata lelaki kelahiran tahun 1965 ini.
Wahyono dengan paguyuban pelestari lingkungan Wana Krida Lestari memakai beberapa pola tanam, seperti sistem tanam biji dan pola tanam cancang. Bermula dari biji mangrove yang diproses secara polibag, yakni memasukkan bibit ke tanah yang berbungkus plastik selama 4 bulan. Ketika sudah mencapai usia 4 bulan inilah, bibit dipindah ke lokasi tanam di perairan.
Proses selanjutnya adalah membiarkan mangrove muda hidup dengan habitat laut, misalnya harus bersahabat dengan pasang surutnya air laut. Karena air pasang dan surut itulah yang justru dibutuhkan oleh pengembangan mangrove. "Jadi kalau nelayan lain menganggap air pasang surut itu sebagai bencana, bagi kami itu sebagai berkah," kata Wahyono. "Saya selalu bilang pada teman-teman bahwa air pasang itu bukan bencena,"
Mangrove pun lalu dibiarkan tumbuh di sepanjang parairan selama 6 atau 7 tahun, yang kemudian bibitnya bisa digunakan lagi sebagai mangrove generasi berikutnya.
Patah tumbuh hilang berganti, seperti kata pepatah, itulah dunia mengrove. Karena jika sudah bisa diunduh (dituai) kayunya amat berguna bagi bahan pembuat rumah. Hampir semua warga di Kampung Laut Cilacap, seperti kata Wahyono, kayu rumah mereka berbahan mangrove, terutama untuk jenis tancang (bruguiera) dan jenis bakau (rhizopora) yang amat kuat dan kokoh.
Lantas sampai kapan Wahyono akan membela mangrove? "Saya tidak bisa menjelaskan, karena bagi saya pekerjaan jika dilakukan dengan sukarela, justru akan membuat makin semangat..," kata Wahyono yang membuat perairan Segara Anakan Cilacap ini makin menghijau dengan belantara mangrove.
Selama ini Wahyono tak pernah mengkalkulasi berapa uang yang didapat dari mangrove, atau berapa biaya yang keluar untuk mangrove. Karena rupanya dia tak pernah mau hitung-hitungan dengan mangrove, karena Wahyono memang hanya melakukannya dengan sukarela. dan itu yang membuat lelaki ini tetap sehat dan banyak memiliki teman.


(BI/Bambang Iss)
sumber : cyber.suaramerdeka.com

Posted by ThoLe on 06.36. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for �Pasang Surutnya Laut , Berkah bagi Wahyono�

Leave comment

Recent Entries

Recent Comments

Photo Gallery